Washington/Teheran, 26 Juni 2025 — Ketegangan antara Iran dan Israel telah berkembang menjadi krisis berskala regional setelah Amerika Serikat secara terbuka terlibat dalam serangan terhadap instalasi nuklir Iran. Serangan udara yang dilancarkan AS pada 22 Juni 2025 terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran menjadi titik balik yang menghapus keraguan bahwa konflik ini bisa dibatasi hanya pada dua negara.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Pertahanan AS, militer Amerika menggunakan bom penghancur bunker dalam serangan tersebut, mengincar situs-situs nuklir yang diduga kembali aktif di bawah tanah. Pentagon menyatakan bahwa tindakan itu merupakan respons atas keterlibatan Iran dalam berbagai serangan sebelumnya yang menyasar wilayah Israel dan kepentingan AS di kawasan.
“Kami tidak mencari perang, tetapi kami tidak akan tinggal diam jika sekutu kami diserang atau kepentingan kami di Timur Tengah terancam,” ujar Menteri Pertahanan AS, Lloyd Chamberlain, dalam konferensi pers yang digelar di markas Pentagon sehari setelah serangan. Ia menambahkan bahwa operasi itu dilakukan berdasarkan intelijen yang menunjukkan adanya “aktivitas mencurigakan” di tiga lokasi Iran, yang menurutnya “melanggar kesepakatan internasional soal nuklir.”
Namun di Teheran, pernyataan tersebut langsung dibantah. Pemerintah Iran menuduh Amerika Serikat telah melanggar kedaulatan mereka secara terang-terangan dan menyatakan bahwa fasilitas yang diserang adalah lokasi penelitian sipil dan laboratorium medis.
“Ini bukan hanya agresi terhadap Iran, tapi juga penghinaan terhadap hukum internasional,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Naser Kanani. Ia menegaskan bahwa Iran akan membalas setiap bentuk serangan yang merusak integritas wilayah mereka.
Tak lama setelah serangan AS, Iran mengumumkan keadaan darurat militer di beberapa wilayah barat dan tengah, serta mengerahkan pasukan tambahan ke perbatasan utara. Pimpinan Garda Revolusi Islam (IRGC), Jenderal Hossein Salami, dalam pidatonya di hadapan pasukan elit Quds, menyatakan bahwa Amerika kini “resmi menjadi pihak dalam perang.”
Situasi semakin memburuk ketika pada 23 Juni 2025, Iran meluncurkan belasan rudal balistik ke arah pangkalan militer Amerika Serikat di Al-Udeid, Qatar — markas komando terbesar AS di kawasan. Meskipun tidak ada korban jiwa dalam serangan tersebut karena Iran mengklaim telah “memberi peringatan sebelumnya,” aksi ini jelas memperlihatkan bahwa Iran tidak lagi menahan diri dalam merespons intervensi asing.
Pemerintah Qatar, yang sebelumnya mengambil posisi netral dan bahkan berperan sebagai mediator antara Iran dan AS, kini berada dalam posisi sulit. Emir Qatar, Syekh Tamim bin Hamad Al Thani, dalam pernyataan resmi yang dirilis ke publik, menyampaikan keprihatinan atas serangan terhadap wilayahnya dan menyerukan semua pihak untuk kembali ke jalur diplomasi.
Namun seruan itu nyaris tenggelam di tengah hiruk-pikuk ketegangan militer. Di dalam negeri AS, sejumlah anggota Kongres mempertanyakan keputusan Presiden Joe Biden untuk memberi otorisasi penuh terhadap serangan udara tersebut, dengan alasan bahwa keterlibatan langsung AS akan menyeret negara ke dalam perang yang lebih besar.
Senator independen dari Vermont, Elijah McCain, menyebut tindakan itu “terburu-buru dan tanpa strategi keluar yang jelas.” Ia memperingatkan bahwa masuknya AS ke dalam konflik bersenjata ini dapat menciptakan instabilitas di seluruh Timur Tengah, mengancam pasokan energi global, dan memperburuk hubungan diplomatik dengan negara-negara seperti Rusia dan Tiongkok.
Sementara itu, di Israel, kabar bahwa AS ikut menyerang Iran disambut dengan dukungan penuh. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa serangan AS membuktikan bahwa “dunia bebas bersatu melawan terorisme yang dipimpin oleh rezim Teheran.”
Namun, di sisi lain, para analis memperingatkan bahwa keterlibatan militer AS justru bisa menjadi bumerang. Dr. Farid Al-Hussein, seorang analis keamanan Timur Tengah dari Amman, Yordania, mengatakan, “Kehadiran langsung Amerika dalam konflik ini justru memberi Iran dalih untuk meningkatkan serangan ke pangkalan AS di mana pun. Ini bukan hanya tentang Israel lagi, tapi tentang kepentingan global.”
Bukti dari kekhawatiran itu terlihat dari laporan militer AS yang menyebut bahwa pangkalan-pangkalan AS di Irak, Suriah, dan Kuwait kini telah meningkatkan status siaga. Armada Laut Kelima AS di Bahrain juga telah diperintahkan untuk memperluas patroli dan memperketat pertahanan anti-rudal.
Kini dunia menyaksikan ketegangan yang kian tak terkendali. Konflik yang awalnya hanya antara dua negara musuh bebuyutan kini telah menyeret kekuatan besar dunia. Banyak pihak memperingatkan bahwa jika tidak ada langkah cepat dari Dewan Keamanan PBB atau mediator internasional, kawasan Timur Tengah dapat kembali menjadi ladang perang berkepanjangan.
Di tengah situasi yang membara ini, pertanyaan penting pun muncul: apakah Amerika Serikat akan memperluas serangannya, atau adakah ruang bagi diplomasi yang tersisa di tengah hujan rudal dan api?